Page 119 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 119

ditambah kedatangan Ina dalam dialog. Di sinilah muncul cemoohan-
                         cemoohan dan konfl ik menjadi tegang. Masalah mulai mereda ketika
                         Kakek melerai agar tidak terjadi pertikaian lebih lanjut. Saat itu pula Ani
                         dan Ina meninggalkan kolong jembatan pada saat hujan turun lebat.
                         Alur penggalan naskah drama tersebut diakhiri dengan dialog Kakek
                         dan Pincang mengenai berbagai makanan yang disebutkan Ani. Mereka
                         seakan menyindir Ani. Selain itu, cerita juga diakhiri dengan dialog
                         mengenai masalah gelandangan yang tidak mendapat tempat untuk
                         mencari pekerjaan layak.
                      3. Latar Cerita
                            Latar dalam penggalan naskah drama tersebut telah disebutkan
                         secara jelas. Latar tersebut dapat dilihat dari teks samping yang sudah
                         disediakan. Latar yang terdapat dalam penggalan naskah drama tersebut
                         adalah latar tempat dan latar waktu. Latar tempat terjadi di kolong
                         jembatan, sedangkan latar waktu pada senja hari menjelang malam.
                         Latar waktu dan tempat dapat dibuktikan sebagai berikut.
                           Kolong suatu jembatan ukuran sedang, di suatu kota besar. Pemandangan
                           biasa dari suatu permukiman kaum gelandangan. Lewat senja. Tikar-
                           tikar robek. Papan-papan. Perabot-perabot bekas rusak. Kaleng-kaleng
                           mentega dan susu kosong. Lampu-lampu teplok.
                           Dua tungku, berapi. Di atasnya kaleng mentega, dengan isi berasap. Si
                           Pincang menunggui jongkok tungku yang satu, yang satu lagi ditunggui
                           oleh Kakek. Ani dan Ina asyik dandan dengan masing-masing di
                           tangannya sebuah cermin retak. Sekali-kali kedengaran suara gemuruh
                           di atas jembatan, tanda kendaraan berat lewat. Suara gemuruh lagi.
                           Ani :  (kesal) Belum tentu, hah! Apa kau pawang hujan? Dengarkan baik-
                                baik: yang belum tentu adalah –kalau hujan benar-benar turun– kita
                                bisa makan malam ini.
                           Ani :  (tolak pinggang di hadapan Pincang) Banyak-banyak terima kasih,
                                Bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap
                                hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam setengah
                                busuk, campur bawang-prei setengah busuk, campur ubi dan
                                jagung apek Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin
                                makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging
                                rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur
                                balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup,
                                sebuah pisang raja yang kuning emas . . . .
                           Ani :  (histeris) Oh, tidak. Tidak! Hujan tak boleh turun malam ini. Tidak
                                boleh!
                           Ani :  (selesai mengenakan bajunya) Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan
                                kami nikmati malam ini. Cara apapun akan kami jalani, asal kami
                                dapat memakannya malam ini. Ya, malam ini juga!
                           Ani :  Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-
                                oleh.






                       114
   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124