Page 116 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 116
kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan.
Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang
sering salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita
sendiri, sebagai: harga diri. Kini, aku bertanya kepadamu, Nak:
Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini?
Pincang : Semua persoalan ini tak bakal ada, bila kita bekerja, punya cukup
kesibukan. Semua kenangan, harga diri, yang Kakek sebutkan
tadi, adalah justru masalah yang hanya ada bagi jenis manusia-
manusia seperti kita ini: tubuh, yang kurang dapat kita manfaatkan
sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-
gerobak.
Kakek : Kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja.
Pincang : Ya, tapi tak pernah dapat.
Kakek : Alasannya?
Pincang : Masyarakat punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis
manusia seperti kita ini.
Kakek : Eh, bagaimana rupanya seperti jenis kita ini?
Pincang : Masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam,
bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak
mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya.
Kakek : Menurut mereka, kita cuma bisa apa saja lagi?
Pincang : Tidak banyak, kecuali barangkali sekadar mempertahankan hidup
taraf sekadar tidak mati saja, dengan batok kotor kita yang kita
tengadahkan kepada siapa saja, ke arah mana saja. Mereka
anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina,
paling rendah.
Kakek : Sekiranyalah mereka tahu apa-apa kemahiran.
Pincang : Jangan kecualikan aku, Kek. Kakek dan aku sama-sama termasuk
mereka yang setiap saat siap mempertaruhkan apa saja, asal
dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan
ini.
Kakek : Tampaknya mereka sama sekali tak sudi memberi kesempatan
itu.
Pincang : Tampang kita saja sudah cukup membuat mereka curiga. Habis,
tampang bagaimana lagikah yang dapat kita perlihatkan kepada
mereka, selain tampang kita yang ini-ini juga? Bahwa tampang
kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang
berdarah, salah kitakah ini? Bahwa dari tubuh dan pakaian kita
menyusup uap yang pesing, uap dari air kali yang butek di kolong
jembatan ini, salah kitakah ini?
Kakek : Hukum masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja,
tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan.
111