Page 115 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 115
ADEGAN II
Hujan masih turun. Sesekali tampak kilatan. Pincang dan Kakek sedang
makan, langsung dari kaleng mentega.
Kakek : Nasi putih panas . . . .
Pincang : (menjilati jari-jarinya) Rendang, telor . . . eh, apalagi katanya
tadi?
Kakek : (terus mengorek dari kaleng mentega dengan jari-jarinya) Teh
manis panas, pisang raja . . . .
Pincang : Warnanya kuning emas. Bah!
Pincang membanting kalengnya ke tanah.
Kakek : (memburu kaleng yang mental itu) Ah, sayang. Masih ada.
Kakek mengoreki kaleng itu, makin, dan menjilati jari-jarinya.
Pincang : Aku heran, kakek kok masih hafal semuanya itu.
Kakek : (terus menjilati jarinya) Hafal apa?
Pincang : Rendang, telor, pisang raja segala.
Kakek : (tertawa) Lho, kenapa mesti lupa?
Pincang : Setelah bertahun-tahun hidup begini!
Kakek selesai mengoreki isi kaleng. Rupanya isinya betul-betul habis. Kaleng
ditungkupkannya di atas tungku.
Kakek : Ada puntung?
Pincang : (menggeleng) Yang terakhir, Kakek sendiri tadi yang meng-
hisapnya.
Kakek : (tertawa) Oh, ya.
Kakek duduk di samping Pincang di beton semen salah satu pilar
jembatan.
Kakek : Kini, kau dengar baik-baik. Puntung rokokmu yang kuhisap tadi
siang, itu bisa aku lupa. Tapi, bagaimana aku bisa melupakan
nasi panas, daging rendang, telor, pisang raja? Tidak bisa,
Nak. Sama seperti tidak bisanya aku melupakan ranjang
kanak-kanakku dulu, melupakan bubur merah putih yang
sangat kusukai, bila ibuku menyuguhkannya padaku sehabis
aku sakit parah; melupakan uap sanggul ibuku sehabis mandi,
kemudian melenakan aku tidur dengan cerita-cerita wayang,
tentang Gatotkaca yang perkasa, tentang Dewi Sinta, tentang
. . . .
Kakek menguap berkali-kali.
Pincang : (terharu) Tidurlah, Kek. Kau mengantuk.
Kakek : (tertawa, sambil menekan kuapnya) Ah, tidak. Aku seolah
kembali merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan
aku tidur itu. Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita
sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang senantiasa membuat
110