Page 132 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 132
Kata busuk merujuk sesuatu yang sudah tidak layak, rusak,
dan berbau. Pengarang ingin menunjukkan betapa kejamnya hidup
yang dihadapi oleh orang-orang pinggiran seperti mereka. Mereka
sebenarnya juga mendambakan hidup layak dan lebih baik.
Keunikan dari karya ini adalah kritik-kritik sosial yang ada masih
relevan dengan keadaan yang ada saat ini. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sikap masyarakat saat ini secara garis besar tidak
berbeda jauh dengan setengah abad lalu. Modernisasi perlahan-
lahan sudah mengubah pola pikir saat ini, tetapi belum bisa merubah
kehidupan masyarakatnya.
Pengarang melalui kritik sosial di dalam drama ini seolah-
olah mengajak pembaca untuk lebih peduli dan memperhatikan
keberadaan mereka. Pengarang ingin menyampaikan bahwa
mereka sebenarnya masih memiliki eksistensi. Mereka berusaha
menunjukkan eksistensinya dengan melakukan usaha-usaha untuk
mengangkat derajat. Tidak sepatutnya mereka direndahkan oleh
manusia lain. Mereka masih mempunyai harga diri. Mereka ingin
hidup layak dan berada dalam kepastian.
i. Gambaran hidup orang pinggiran
Dalam drama ini, pengarang seolah ingin semakin memantapkan
pandangannya kepada pembaca mengenai kejamnya kehidupan
yang dialami oleh orang-orang pinggiran ini. Pengarang ingin
menyinggung kondisi masyarakat di negeri ini. Banyak orang sering
menganggap bahwa orang-orang pinggiran tidak pantas mempunyai
harga diri dan tidak pantas untuk memiliki pekerjaan layak. Mereka
seolah lupa bahwa orang-orang pinggiran ini adalah manusia
yang ingin hidup lebih baik. Anggapan ini mempertegas sindiran
dan kecaman pengarang terhadap persepsi di dalam masyarakat.
Masyarakat menilai orang-orang pinggiran adalah kasta paling
hina dan paling rendah dan dianggap sudah tidak mampu bekerja.
Persepsi-persepsi demikian memang sesuai dengan realitas sosial
yang ada di negara ini. Orang-orang memiliki nasib lebih beruntung
merendahkan orang-orang pinggiran dan miskin yang tinggal di
kolong jembatan. Persepsi-persepsi yang seperti demikian itu
sebenarnya terasa sangat menyakitkan bagi mereka. Jika boleh
memilih, tentu tidak ada orang yang menginginkan memiliki nasib
demikian. Bahkan, dalam kutipan dialog paling akhir, Si Pincang,
siap mempertaruhkan apa saja asal dapat meninggalkan kedudukan
sebagai manusia gelandangan. Dari sini juga terlihat bahwa mereka
sebenarnya masih memiliki harga diri. Mereka tidak mau direndahkan
terus-menerus. Pengarang mengajak pembaca untuk lebih peduli dan
memperhatikan, serta tidak merendahkan orang-orang pinggiran.
127