Page 138 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 138

Ibu     :  Tentu saja boleh. (mereka masuk, memegang lengannya)
                                Ayahmu pulang . . . . Ayahmu pulang . . . .
                      Maimun :  (gembira) Ayah . . . . (mendekati ayahnya dan mencium tangannya)
                                Aku Maimun, Ayah.
                      Saleh   :  Maimun? Ya, Maimun, sudah besar engkau sekarang. Dulu waktu
                                aku pergi kau masih kecil sekali, kakimu masih lemah, belum
                                dapat berdiri . . . ., dan nona ini . . . ?
                      Mintarsih :  Aku Mintarsih, Ayah? (mencium tangan ayahnya)
                      Saleh   :  Ya . . ., Mintarsih aku mendengar dari jauh, aku mendengar dari
                                jauh, aku mendapat seorang anak lagi, seorang putri. Engkau
                                cantik Mintarsih. Ah, aku girang sekali. Tak tahu apa yang mesti
                                kukatakan . . . .
                      Maimun  :  Silakan duduk, Ayah!
                      Ibu     :  Yah, aku sendiri tak tahu dari mana aku akan mulai bicara . . . .
                                Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku kira bagiku
                                bahagia yang paling besar.
                      Saleh   :  (tersenyum pahit) Yah, anak-anak rupanya bisa juga besar
                                meskipun tak punya bapak.
                      Ibu     :  Ya, mereka semuanya sudah menjadi pandai sekarang. Gunarto
                                bekerja di perusahaan dan Maimun tidak pernah tinggal kelas
                                selama ia sekolah; tiap kali tentu jadi juara di dalam ujian.
                                Sekarang semuanya mempunyai penghasilan tiap bulan. Dan
                                Mintarsih bantu-bantu menjahit sementara menunggu.
                      Mintarsih :  Ah, Ibu.
                      Ibu     :  Dan bagaimana engkau selama ini?
                      Saleh   :  Sepuluh tahun yang lalu aku seorang besar di Singapura.
                                Aku kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh.
                                Tapi malang, tokoku terbakar habis, dan seolah-olah nasib
                                belum puas menyeret aku ke dalam kesengsaraan. Andil-
                                andil yang kuberi merosot semua sehabis perang. Sesudah
                                itu segala yang kukerjakan tidak ada yang baik lagi, tak
                                hendak sempurna . . . sementara itu aku sudah mulai tua.
                                Tempat tinggalku, keluargaku anak istriku, ter gambar di
                                depan jiwaku. Rasanya tak tahan lagi aku hidup, karena itu
                                . . . . Harap kasihan akan kasihmu . . . . (diam sejurus melihat
                                kepada Gunarto) Gunarto, maukah kau memberi aku air segelas?
                                Kering rasanya tenggorokanku. Engkau tak begitu berubah
                                rupanya, Narto, hanya engkaulah yang tidak. (diam lagi)
                      Ibu     :  Narto. Ayahmu yang bicara, mestinya engkau gembira . . . . Sudah
                                semestinya bapak berjumpa kembali dengan anaknya. Setelah
                                sekian lama berpisah.
                      Saleh   :  Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun, berilah ayah air
                                segelas.






                                                                               133
   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143