Page 139 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 139

Maimun  :  Baik, ayah. (mengambil air)
                      Gunarto :  (pelan tapi pahit) Kami tidak punya ayah lagi. Kapan kami punya
                                ayah?
                      Ibu     :  Narto! Apa katamu?
                      Gunarto :  Kami tidak punya ayah lagi, kataku. Jika kami berayah apa
                                perlunya kami membantu membanting tulang menjadi budak
                                orang selama ini. Waktu aku berumur 8 tahun, aku dan ibu hampir
                                terjun ke dalam laut. Untung ibu lekas insaf. Jika kami mempunyai
                                ayah, apa perlunya kami menjadi kuli pabrik waktu aku berumur
                                10 tahun. Karena tak ada ayah, kami jadi besar dalam sengsara.
                                Rasa gembira dalam hati sedikit pun tak ada. Lupakah Mun, . . .
                                engkau menangis waktu masih di sekolah rendah, karena engkau
                                tak dapat membeli kelereng seperti anak-anak lainnya? Karena
                                engkau pergi ke sekolah hanya dengan buku tulis setengah,
                                karena engkau tak punya ayah. Jika kita punya ayah mungkinkah
                                hidup kami begini melarat. (Ibu dan Mintarsih mulai menangis)
                      Mintarsih :  Tapi Mas Narto, sedangkan ibu telah memaafkan ayah, mengapa
                                kita tidak?
                      Gunarto :  (dingin) Ibu adalah orang perempuan. Aku mengerti bagaimana
                                perasaannya. Andaikata aku mempunyai ayah, maka ayahku itu
                                adalah musuhku. Waktu kita masih kecil, jika kita menangis di
                                pangkuan ibu karena lapar, dingin, dan penyakitan, ibu selalu
                                berkata: ”Ini semua adalah kesalahan ayahmu”. Ayahlah yang
                                mesti disalahkan. Jika aku mempunyai ayah, sebenarnya dialah
                                yang menjadi musuhku, yang menyiksa aku sehingga hatinya
                                puas, semenjak aku masih kecil . . . . Semenjak aku berumur
                                10 tahun jadi anak suruhan pabrik. Ibu mesti mencucikan kain
                                orang lain, jadi babu cucian. Aku bekerja sekuat tenaga untuk
                                dapat membuktikan bahwa aku dapat memberi makan keluarga.
                                Aku hendak berteriak kepada umum: ”Aku tak perlu pertolongan
                                orang lain. Seorang ayah meninggalkan anak istrinya dalam
                                sengsara”. Aku sanggup jadi orang yang berharga meskipun
                                tak mengenal kasih sayang seorang ayah. Hingga aku berumur
                                18 tahun tak lain kugambarkan bapakku yang sesat, hartanya
                                berimbun-timbun, akhirnya dia lari dengan seorang wanita lain,
                                yang menarik ia ke lembah kedurjanaan . . . lupa ia pada anak
                                istrinya, pada bangsanya . . . karena cinta pada orang yang
                                membawanya ke pintu neraka. Sampai-sampai buku simpananku
                                yang disimpan ibu hilang pula bersama ayahku yang minggat.
                      Maimun :  (dengan air mata, dalam suara yang parau) Tapi Mas Narto,
                                lihatlah ayah seperti dia itu . . . telah tua . . . karena itu . . . .








                       134
   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144