Page 141 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 141
Gunarto : Ya, jika kau menurut kehendakmu, boleh keluar bersama-sama
dia. (Hening sejenak. Ibu dan Mintarsih bertangis-tangisan,
Maimun payah menahan air mata, Gunarto menjadi lemah)
Mungkin kamu tak merasakan dengan sesungguhnya pahit getir
penderitaan selama ini. Aku menderita karena tak mempunyai
ayah. Tapi pikiranku kucurahkan untuk kebahagiaan adik-adikku
supaya mereka jangan menderita seperti aku. Sering malam-
malam aku tak bisa tidur, aku berpikir . . . berpikir, tidak kupikirkan
badanku. Sakit-sakit berangkat juga bekerja untuk menjadikan
kamu manusia berharga. Agar jangan seperti aku . . . .
Saleh : (sedih) Aku mengerti . . . mengerti. Bagiku tak ada yang lain
lagi. Jika aku kembali juga, aku hanya mengganggu kedamaian
anak-anakku saja . . . biarlah aku pergi, Tinah. Baiklah jalan yang
sebaik-baiknya, bagiku tak ada jalan kembali.
Maimun : (mengikuti ayah) Ayah? Apakah Ayah ada uang . . . ? Sudah
makan . . . ?
Saleh : (sambil berjalan) Sudah . . . Sudah . . . Maimun . . . .
Mintarsih : Ke mana ayah akan pergi?
Saleh : Aku akan pergi menunggu mati di tepi jalan atau di tepi kali. Aku
cuma pengemis biasa sekarang. Sebenarnya aku harus malu
masuk rumah yang kutinggalkan dahulu dengan sengaja. Tetapi
aku sekarang sudah tua dan lemah, tak sadar langkahku terayun
kemari. Sudah tiga hari aku berdiri dekat tangga sana, tapi aku
malu, tak sanggup masuk kemari . . . tetapi aku telah tua. (keluar
dengan langkah berat)
Ibu : (sambil menangis) Malam lebaran dia pergi . . . dia datang . . .
untuk pergi kembali . . . seperti gelombang yang dimainkan topan,
demikian nasib ibu.
Mintarsih : (mendekati Gunarto) Mas? Bagaimana Mas bisa begitu keras.
Tak dapatkah Mas mengampuni ayah? Besok hari lebaran pula.
Sudah semestinya bermaaf-maafan. Ke mana dia akan pergi
. . . . (melangkah ke jendela) Hujan pun mulai turun nampaknya
(terdengar bunyi hujan).
Maimun : (agak panik) Tak ada rasa belas kasihan, tak ada rasa tanggung
jawab kepada orang tua yang sudah tak berdaya.
Mintarsih : Dalam hujan seperti ini? Mas suruh pergi dia, ayah kita Mas,
ayah kita sendiri.
Gunarto : (memandang adiknya) Jangan aku dipandang sebagai terdakwa,
mengapa menyindir juga? Aku sudah bilang, kamu harus memilih
antara dia atau aku.
Mintarsih : Mengapa memaksa kami memilih, sedang kami kasih kepada
Mas . . . tapi juga pada ayah . . . .
136