Page 113 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 113

(suara geluduk lagi)
                      Ani    :  (kesal) Belum tentu, hah! Apa kau pawang hujan? Dengarkan
                               baik-baik: yang belum tentu adalah kalau hujan benar-benar turun,
                               kita bisa makan malam ini.
                      Pincang :  Sekadar pengisi perut saja. Ini juga hampir masak.
                      Ani    :  (tolak pinggang di hadapan Pincang) Banyak-banyak terima kasih,
                               Bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut
                               tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam
                               setengah busuk, campur bawang-prei setengah busuk, campur ubi
                               dan jagung apek. Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar
                               ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong
                               daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak,
                               sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan
                               sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas . . . .
                      Selama Ani ngoceh tentang makanan enak itu, yang lainnya mendengarkan
                      dengan penuh sayu. Berkali-kali mereka menelan liurnya. Suara geluduk.
                      Semuanya melihat sayu pada Ani.
                      Ani    :  (histeris) Oh, tidak. Tidak! Hujan tak boleh turun malam ini. Tidak
                               boleh!
                      Ina    :  (mendekatinya) Sudahlah, Kak. Hujan atau tak hujan, kita tetap
                               keluar.
                      Pincang :  Mana bisa . . . kalian kuyup-kuyup?
                      Ina    :  Ah, abang seperti tahu segala. Lagi, kata siapa kami bakal basah
                               kuyup?
                      Kakek :  (dengan suara datar) Siapa jalan di hujan, basah. Biasanya
                               begitulah.
                      Ina    :  Kalau kami – oh, naik becak?
                      Pincang :  Ah, . . . uang untuk ongkos becaknya, gimana?
                      Ina tertawa terbahak-bahak.
                      Pincang :  Oh, pakai kebijaksanaan dengan bang becaknya, hah?
                      Ina terus tertawa. Ani ikut mencemooh.
                      Pincang :  (gemas) Becak . . . !
                      Ina    :  Lho, kok . . . ?
                      Pincang :  Ahh, aku sudah tahu. Pasti bang becak yang hitam itu lagi,
                               kan?!
                      Ina    :  (geli) Hitam manis, dong. Oh, jadi kau kenal dia? (tertawa Lagi)
                               Kau cemburu apa?
                      Pincang tiba-tiba menyepak kuat-kuat sebuah kaleng kosong di tanah.
                      Ani    :  He, sabar dikit, Bang! Apa-apaan nih?! (. . . .)
                      Pincang diam, kemudian bersungut-sungut










                       108
   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118