Page 112 - drama_pengetahuan_dan_apresiasi
P. 112

ADEGAN I

                      Suasana ruangan:  Kolong suatu jembatan ukuran sedang, di suatu kota
                                      besar. Pemandangan biasa dari suatu permukiman kaum
                                      gelandangan. Lewat senja. Tikar-tikar robek. Papan-
                                      papan. Perabot-perabot bekas rusak. Kaleng-kaleng
                                      mentega dan susu kosong. Lampu-lampu teplok.
                                      Dua tungku, berapi. Di atasnya kaleng mentega, dengan
                                      isi berasap. Si Pincang menunggui jongkok tungku yang
                                      satu, yang satu lagi ditunggui oleh Kakek. Ani dan Ina
                                      asyik dandan dengan masing-masing di tangannya
                                      sebuah cermin retak. Sekali-kali kedengaran suara
                                      gemuruh di atas jembatan, tanda kendaraan berat lewat.
                                      Suara gemuruh lagi.
                      Kakek  :  Rupa-rupanya, mau hujan lebat.
                      Pincang :  (tertawa) Itu kereta-gandengan lewat, Kek!
                      Kakek :  Apa?
                      Pincang :  Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
                      Kakek :  (menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil mengaduk isi kaleng
                               mentega di atas tungku)
                               Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang
                               gandengan lewat di sini.
                      Ani    :  Lalu?
                      Kakek  :  Hendaknya, peraturan itu diturutlah.
                      Ani tertawa terbahak-bahak.
                      Kakek  :  Kalau begitu apa guna larangan?
                      Ani    :  Untuk dilanggar.
                      Kakek  :  Dan kalau sudah dilanggar?
                      Ani    :  Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara.
                      Kakek menggeleng-gelengkan kepalanya, terus mengaduk masakannya.
                      Suara gemuruh lagi.
                      Pincang :  Kali ini, suara itu adalah suara guruh.
                      Ani    :  (tersentak) Apa?!
                      Pincang :  (tertawa) Itu Neng, geluduk. Biasanya itu tanda, tak lama lagi
                               hujan turun.
                      Ani kesal. Ia pergi ke tepi bawah jembatan, melihat ke langit. Diacung-
                      acungkan tinjunya berkali-kali ke langit. Suara geluduk.
                      Ani    :  Sial! Ina!
                      Ina    :  Apa, Kak?
                      Ani    :  Percuma dandanan!
                      Ina    :  Ah, belum tentu juga hujan turun.







                                                                               107
   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117